Mengenal Syaikh Abdul Malik, Sesepuh Mursyid
Naqsyabandiyah Khalidiyah Tanah Jawa Kelahiran Banyumas
Inilah kisah sosok ulama yang cukup disegani di
Banyumas Jawa Tengah: Syaikh Abdul Malik. Semasa hidupnya Syaikh Abdul Malik
memegang dua thariqah besar (sebagai mursyid) yaitu: Thariqah An-NaqsyabandiyahAl-Khalidiyah dan Thariqah Asy-Syadziliyah.
Asy-Syaikh Abdul Malik lahir di dusun Kedung
Paruk, desa Ledug, kini masuk wilayah Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas,
Jawa Tengah, pada hari Jum’at 3 Rajab 1294 H (1881). Nama kecilnya Muhammad
Ash’ad sedang nama Abdul Malik diperoleh dari ayahnya, KH Muhammad Ilyas ketika
ia menunaikan ibadah haji bersamanya. Sejak kecil Asy-Syaikh Abdul Malik telah
memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua orang tuanya
dan saudara-saudaranya yang ada di Sokaraja, Banyumas terutama dengan KH
Muhammad Affandi.
Anda yang ingin berziarah ke makan beliau, untuk
menuju kompleks makam Syaikh Abdul Malik cukup mudah. Dari pertigaan Berkoh,
Purwokerto Timur ke utara arah jembatan Kali Pelus. Setelah jembatan ada jalan
ke barat dan terpampang Jl Syaikh KH Abdul Malik. Diantara rimbunan pohon salak
dan kompleks TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an ) dan Pondok Pesantren KH Abdul
Malik, tepatnya di sebelah barat kompleks masjid Baitul Haq, ada kompleks makam
Sesepuh Mursyid Naqsyandiyah Kholidiyah, Syaikh Abdul Malik atau yang dikenal
sebagai Mbah Malik di kalangan thareqat.
Ayahnya adalah KH Muhammad Ilyas bin H Aly
Dipowongso. Syaikh Muhammad Ilyas trukah berdakwah di wilayah eks Karsidenan
Banyumas dimulai dari grumbul Kedungparuk, sekembalinya dari menuntut ilmu selama
puluhan tahun di Mekkah. Guru Ilyas, demikian nama yang lebih dikenal,
dilahirkan di Kedung Paruk sekitar tahun 1186 H/1765 M dari seorang ibu bernama
Siti Zaenab binti Maseh bin KH Abdussamad (Mbah Jombor). Guru Ilyas mulai
menyebarkan luaskan thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah sesuai tugas dan amanah
gurunya yakni Syaikh Sulaiman Zuhdi Al Makki sekitar tahun 1246 H/1825 M pada
usia 60 tahun.
Guru Ilyas mengajarkan Al-Qur’an kepada anaknya,
Abdul Malik. Kemudian Abdul Malik mendalami Al-Qur’an lebih lanjut kepada KH
Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas). Pada tahun 1312 H, ketika
Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa, oleh ayahnya dikirim ke Mekkah untuk
menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai disiplin ilmu agama
diantaranya ilmu Al-Qur’an, tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqh, Tasawuf dan
lain-lain. Abdul Malik dewasa belajar di Tanah Suci dalam waktu yang cukup
lama, kurang lebih selama limabelas tahun.
Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan
Ulumul Qur’an, ia berguru kepada Sayid Umar Asy-Syatha’ dan Sayid Muhammad
Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin Hasyiyah Fathul Mu’in). Dalam
ilmu hadits, ia berguru Sayyid Thaha bin Yahya Al-Magribi (ulama Hadramaut yang
tinggal di Mekkah), Sayyid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayyid Muhsin
Al-Musawwa, Asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tirmisi. Dalam bidang
ilmu syariah dan thariqah alawiyah ia berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib
Aththas Abu Bakar Al-Attas, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya),
Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Bogor), dan Kyai Soleh Darat (Semarang).
Sementara itu, guru-gurunya di Madinah adalah
Sayyid Ahmad bin Muhammad Amin Ridwan, Sayyid Abbas bin Muhammad Amin Ridwan,
Sayyid Abbas Al Maliki Al-Hasani (kakek Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi Al
Maliki Al-Hasani), Sayyid Ahmad An-Nahrawi Al Makki, Sayyid Ali Ridha.
Setelah sekitar 15 tahun menimba ilmu di Tanah
Suci, pada tahun 1327 H, Abdul Malik pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat
kepada kedua orang tuanya yang saat itu sudah sepuh. Kemudian pada tahun 1333
H, sang ayah, Asy Syaikh Muhammad Ilyas alias Guru Ilyas berpulang ke
Rahmatullah.
Sepeninggal sang ayah, Abdul Malik kemudian
mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa dengan berjalan kaki, guna menambah
wawasan dan pengetahuan. Ia pulang ke rumah tepat pada hari ke-100 wafatnya
sang ayah, dan saat itu umur Abdul Malik menginjak tiga puluh tahun. Sepulang
dari pengembaraannya itu, ia tidak tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap di
Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab.
Perlu diketahui, Asy-Syaikh Abdul Malik sering
sekali membawa jemaah haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi pembimbing
dan syaikh. Mereka bekerjasama dengan Asy-Syaikh Mathar Mekkah, dan aktivitas
itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama.
Sehingga wajarlah kalau selama menetap di Mekkah,
ia memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan syaikh yang ada di
sana. Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah
memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzhab
Syafi’i di Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar. Pemerintah Saudi
sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di
sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat
agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang telah
memperoleh gelar Al-‘Allamah.
Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung
ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah Asy-Syaikh Abdul
Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan
(meminta barakah) kepada Asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula dengan Mbah
Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Khalil (Sirampog, Brebes), KH Anshori
(Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kiyai-kiyai
yang hafal Al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu Al-Qur’an kepada Syaikh
Abdul Malik.
Kehidupan Syaikh Abdul Malik sangat sederhana, di
samping itu ia juga sangat santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar
sekali melakukan silaturrahiem kepada murid-muridnya yang miskin. Baik mereka
yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug,
Pliken, Sokaraja, Dukuhwaluh, Bojong dan lain-lain.
Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan kendaraan
sepeda, naik becak atau dokar, Syaikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya
untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian sambil mengingatkan
kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan (Forum silaturrahiem
para pengikut Thariqah An-Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah Kedung Paruk yang
diadakan setiap hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan tawajjuhan).
Konon beliau mengamalkan lebih dari 12 thariqah,
hanya saja yang diturunkan paling tidak 4 thariqah yaitu naqsyabandi
al-khalidi, syadziliyah, qadiriyah naqsyabandiyah dan alawiyah. Di samping
memberikan pelajaran tentang ilmu tashawuf (Thariqah), beliau juga
mengembangkan ilmu al-qur’an (tahfidul-qur’an dan qira;ah sab’ah). Tidak
sedikit para hafizh dan qari’ datang kepada beliau untuk mengambil ilmu
al-qur’an atau sekedar tabarukan.
Mbah Malik tidak meninggalkan harta ataupun karya
tulis, namun karya agung beliau adalah karya yang dapat berjalan yaitu
murid-murid beliau yang kini menjadi tokoh-tokoh masyarakat, ulama, kiyai,
rijalul qaum (tokoh panutan) seperti diuangkapkan oleh Syaikhina al-‘Allaamah
al-Mursyid al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya.
Murid-murid dari Syaikh Abdul Malik diantaranya KH
Abdul Qadir, Kiyai Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah An-Naqsyabandiyah
Al-Khalidiyah sekarang), KH Sahlan (Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah
(Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin
Yahya (Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.
Sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau, yakni
Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya pun.
“Karya-karya Al-Allamah Syaikh Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat
berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan kyai, ulama maupun shalihin”,
dawuhnya Habib Luthfi.
Diantara warisan beliau yang sampai sekarang masih
menjadi amalan yang dibaca bagi para pengikut thariqah adalah buku kumpulan
shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu “Al-Miftah al-Maqashid li-ahli
at-Tauhid fi ash-Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-majid Sayyidina Muhammad
al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id.”
Shalawat ini diperoleh di Madinah dari Sayyid
Ahmad bin Muhammad Ridhwan Al-Madani. Konon, shalawat ini memiliki manfaat yang
sangat banyak, diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti membaca
kitab Dala’ilu al-Khairat sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan untuk
menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka.
Syaikh Abdul Malik semasa hidupnya memegang dua
thariqah besar (sebagai mursyid) yaitu: Thariqah An-Naqsyabandiyah
Al-Khalidiyah dan Thariqah Asy-Syadziliyah. Sanad thariqah An-Naqsyabandiyah
Al-Khalidiyah telah ia peroleh secara langsung dari ayah beliau yakni Syaikh
Muhammad Ilyas, sedangkan sanad Thariqah Asy-Sadziliyah diperolehnya dari
As-Sayyid Ahmad An-Nahrawi Al-Makki (Mekkah).
Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki dua
amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca Al-Qur’an dan Shalawat.
Beliau tak kurang membaca shalawat sebanyak 16.000 kali dalam setiap harinya
dan sekali menghatamkan Al-Qur’an. Adapun shalawat yang diamalkan adalah
shalawat Nabi Khidir AS atau lebih sering disebut shalawat rahmat, yakni
“Shallallah ‘ala Muhammad”. Dan itu adalah shalawat yang sering beliau
ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau. Adapun shalawat-shalawat yang lain
ialah shalawat Al-Fatih, Al-Anwar dan lain-lain.
Beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai
kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang
menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada diri beliau. Sehingga amat
wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan
menghormatinya.
Di samping dikenal memiliki hubungan yang baik
dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak orang telah
mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Soleh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul,
Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi Al-Hamid
(Brani, Probolinggo), KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya
(Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.
Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi ke
Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Soleh
berkata kepada para jamaah, ”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang
akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah
Jawa.” Tidak lama kemudian datanglah Syaik Abdul Malik dan jamaah pun terkejut
melihatnya.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin
Hadi Al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik
berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku harus di
pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”
Satu hal yang sering diungkapkan dalam berbagai
kesempatan oleh murid kesayangan Mbah Malik yakni Habib Luthfi bin Ali bin
Hasyim bin Yahya (Pekalongan) bahwa beliau memiliki ratusan guru ruhani, tapi
yang “kemantil-kantil” di pelupuk mata beliau adalah Mbah Malik.
Tiga hal yang diwasiatkan kepada penerus Mbah
Malik yaitu; jangan tinggalkan shalat, jangan tinggalkan al-Qur’an dan jangan
tinggalkan shalawat. Di samping itu dalam berbagai kesempatan Mbah Malik sering
menyampaikan pesan-pesannya kepada murid-murid dan cucu-cucu beliau untuk
melakukan dua hal, yaitu pertama agar selalu membaca shalawat kepada Rasulullah
SAW dan kedua agar selalu mencintai serta menghormati dzuriyyah (cucu-cucu )
Rasulullah SAW.
Mbah Malik adalah guru besar Thariqah
An-Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah dan As-Syadziliyah Indonesia. Silsilah
kemursyidan diserahkan kepada murid kesayangan beliau (Habib Muhammad Luthfi
bin Ali bin Hasyim bin Yahya dan cucu beliau Abdul Qadir bin iLyas Noor).
Kalau kepada sang cucu hanya kemursyidan thariqah
An-Naqsyabandiyah al-Khalidiyahnya saja, namun kemursyidan kedua thariqah besar
tersebut (Naqsyabandi dan Syadzili) diserahkan kepada muridnya yakni Habib
Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya.
Mbah Malik menurunkan seorang anak laki-laki dari
Nyai Siti Warsiti yang lebih dikenal Mbah Johar (putri syaikh Abubakar bin H
Yahya, Kaliwedi, guru mbah Malik) yakni Ahmad Busyairi, namun meninggall dalam
usia 36 tahun (1953). Sedang dari Mbah Mrenek Maos Cilacap, tidak dikaruniai
anak. Dari perkawainannya dengan Nyai Siti Hasanah putri H Abdul Khalil (Kedung
Paruk), ia menurunkan seorang putri yaitu Nyai Khairiyah. Sang putri tunggal
Nyai Khairiyah ini menurunkan sembilan anak. Dengan Kyai Anshor Sokaraja, satu
orang putri yaitu Hj Siti Fauziyah dan dari Kyai Ilyas Noor, delapan anak tiga
laki-laki dan lima perempuan yaitu Hj Siti Faridah, KH Abdul Qadir, Siti
Fatimah, Siti Rogayah, KH Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor , Hj Isti Rochati dan
Nurul Mu’minah.
Tiga penerus Mbah Malik yang meneruskan amaliah
Mbah Malik masing-masing yakni pertama, KH Abdul Qadir bin KH Ilyas Noor Subtil
Malik lahir di Kedung Paruk 11 Oktober 1942 wafat pada hari Selasa 19 Maret
2002 (5 Muharam 1423 H) dalam usia 60 tahun dan dimakamkan dibelakang Masjid
Bahaa-ul-Haq wa Dhiyaa-ud-Dien. Ia memangku kemursyidan selama 22 tahun
(1980-2002).
Penerus kedua yakni yakni KH Sa’id bin KH Ilyas
Noor Subtil Malik lahir di Kedung Paruk pada tanggal 15 April 1951 wafat pada
hari kamis tanggal 3 Juli 2004 dalam usia 53 tahun dan dimakamkan di belakang
Masjid Bahaa-ul-Haq wa Dhiyaa-ud-Dien. Ia memangku kemursyidan selama 2 tahun
(2002-2004). Selepas itu kemursyidan thariqah dari tahun 2004 sampai sekarang
dipegang oleh KH Muhammad bin KH Ilyas Noor Subtil Malik.
Syaikh Abdul Malik wafat pada hari Kamis, 2
Jumadil Akhir 1400 H (17 April 1980) pada usia 99 tahun dan dimakamkan di
belakang masjid Bahaaul-Haq wa Dhiyaa-ud-Dien, Kedung Paruk, Purwokerto,
Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah dan memangku kemursyidan selama 68 tahun
(1912-1980).
Sumber : Facebook.com
Thanks for reading : Syaikh Abdul Malik, Sesepuh Mursyid Naqsyabandiyah Khalidiyah Tanah Jawa Kelahiran Banyumas Semoga bermanfaat
إرسال تعليق