Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama Inggris Raya, Munawir Aziz mengatakan ada pola serangan di platform digital dengan skema computational propaganda terhadap Nahdlatul Ulama (NU).
Computational propaganda atau propaganda komputasional adalah propaganda yang disiapkan dengan sistem komputasi, baik melalui bot, akun yang terkoordinasi, maupun buzzer. Skema ini, kata Munawir, terlihat dari pergerakan percakapan media sosial yang termonitor, sekaligus delegitimasi terhadap tokoh-tokoh kunci dan pendakwah NU, seperti dikutip dari NU Online.
"Jadi, saya bersama Teman-teman di Inggris membangun platform untuk memonitor pergerakan percakapan media sosial. Kami membangun semacam media monitoring untuk data crawling sekaligus analisa. Ada pola yang terlihat terkait serangan terhadap tokoh-tokoh Nahdliyyin dalam beberapa level," ungkapnya, Kamis (3/2/2022).
$ads={1}
Munawir Aziz merupakan jurnalis dan peneliti yang saat ini sedang mendalami digital diplomacy (kebijakan publik). Ia juga awardee (penerima) LPDP Santri untuk PhD program. Menurut Munawir, temuan ini harus menjadi alert (peringatan), karenanya perlu disikapi secara tepat.
"Kami melakukan monitoring sejak Desember 2021 lalu, tepat beberapa pekan sebelum Muktamar Ke-34 NU. Memang masih butuh waktu untuk penyempurnaan infrastruktur digitalnya serta untuk mengelola data yang lebih besar. Tapi, terlihat ada pola bahwa serangan computational propaganda terhadap tokoh-tokoh NU," ungkapnya.
Tim monitoring ini, kata dia, dibantu data architect, data scientist, dan beberapa ahli di bidang public policy.
Munawir Aziz menyampaikan bahwa ketika Muktamar, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mendapat serangan terkait isu antek Yahudi dan gerakan zionis.
"Serangan terhadap Gus Yahya dilancarkan pihak luar NU. Waktu itu juga ada isu terkait pencopotan pejabat di Kemenag untuk mempengaruhi publik, tapi tidak berhasil," ungkapnya.
Ketika Muktamar Ke-34 NU, Munawir Aziz bersama tim PCINU UK melalukan monitoring untuk khidmah terhadap forum Muktamar.
"Ya kami waktu itu untuk khidmah, karena tidak bisa pulang ke Indonesia karena peraturan di Inggris yang ketat terkait protokol kesehatan. Selain itu, sebagai antisipasi agar di media sosial, tidak ada yang memecah NU dari luar," jelasnya.
Hasil monitoring ini, kata dia, sudah disampaikan kepada beberapa pihak, terutama para decision maker (pengambil kebijakan) di NU untuk bahan analisa.
Pasca-Muktamar, serangan berlanjut terhadap pendakwah Gus Miftah dan kemudian Menteri Agama Gus Yaqut Cholil Qoumas.
"Intinya, ada pola yang menggeser dari voice ke noise. Jadi, dari percakapan yang strategis dan urgent, digeser ke keributan, jadinya noise. Gus Miftah mengkritik pendakwah yang mengharamkan wayang, tapi kemudian keributan dibikin untuk mendeligitimasi Gus Miftah," ungkap Munawir.
"Begitu juga dengan kasus aturan Toa, perbincangan dibelokkan ke pembahasan azan dan gonggongan anjing. Ini menggeser voice ke noise, jadinya subtansinya dilupakan, tapi yang diributkan kebisingannya," demikian analisa Munawir.
Respons
Munawir menekankan, para influencer NU harus mengerti bagaimana bersikap dan melakukan respons. "Kita harus melihat peta secara detail, dengan lapisan-lapisan propaganda ini. Tapi, intinya para tokoh NU ya jangan sampai kehilangan koordinasi, dan terus saling menguatkan," imbuhnya.
Di sisi lain, kata Munawir, konsolidasi jamaah dan jamiyah juga penting untuk diteruskan, serta penguatan sosial ekonomi dan juga teknokrasi untuk leadership dan kelembagaan, "Ini tantangan untuk kita semua, kader-kader santri," jelas Munawir.
$ads={2}
Post a Comment